B. 1. Kelompok-kelompok kepentingan
Kelompok kepentingan (interest group) seringkali di defenisikan sebagai, a group of persons who share a common cause, which puts them into political competition with other groups of interests (Benditt 1975:34). Berdasarkan definisi tersebut fungsi kelompok kepentingan terbatas pada agregasi dan artikulasi kepentingan saja. Mereka merupakan kelompok terorganisasi yang memiliki tujuan bersama yang secara aktif berusaha mempengaruhi pemerintahan (Janda, Berry, & Goldman 1997). Dengan kata lain, tujuan mereka hanyalah berusaha untuk “mempengaruhi” proses pengambilan kebijakan pemerintah agar sesuai dengan keinginan kelompok yang diwakilinya.
Kelompok kepentingan pada hakikatnya dapat dibagi menjadi dua, yakni:
ü kelompok kepentingan privat; adalah kelompok kepentingan yang berusaha memperjuangkan kepentingankepentingan anggota-anggota yang diwakilinya (golongan tertentu) dalam konteks kehidupan umum seperti: Pengacara, dokter, akuntan, dosen, guru, hakim, pengacara, serta golongan professional lain, termasuk juga para pekerja atau buruh. Juga dalam konteks ini adalah kepentingan produsen atas bidangbidang usaha tertentu.
ü kelompok kepentingan yang bersifat publik adalah kelompok kepentingan yang lebih berorientasi mempengaruhi pemerintah agar melakukan tindakan tertentu yang menguntungkan kepentingan umum secara menyeluruh, ketimbang anggotanya. Contoh dari jenis kelompok kepentingan ini adalah geraka-gerakan sosial yang mengadvokasi isu-isu lingkungan, pendidikan, pertambangan, perempuan, ketenagakerjaan, korupsi, kekerasan, perdagangan manusia, konsumen dan sebagainya.
Almond dan Powell (1980) dalam karya klasiknya membagi kelompok kepentingan menjadi empat jenis, yakni:
ü kelompok anomik, yang merupakan kelompok kepentingan yang bersifat spontan, terbatas, muncul seketika. Kelompok kepentingan ini memiliki tingkat kemampuan komunikasi politik yang rendah, dengan ikatan keanggotaan yang longgar, dan hanya dalam rangka untuk menanggapi insiden tertentu. Kelompok ini lebih merupakan terobosan ke dalam sistem politik berhubungan dengan isu-isu tertentu yang boleh jadi merespon terhadap sikap frustasi tertentu, sehingga melahirkan demonstrasi dan kerusuhan. Namun demikian, setelah aspirasi mereka didengar oleh pemerintah maka kelompok ini akan bubar. Mereka seperti: Ikatan Warga Kampung Pulo yang tergusur; Warga penghuni Kalijodo; Persatuan pedagang rotan di Rawasari, dan sejenisnya.
ü kelompok nonassosiasional, yang merupakan kelompok kepentingan yang diorganisasikan secara informal, dengan keanggotaan yang longgar dan aktifitasnya bergantung pada isu-isu spesifik. Jaringan kelompok ini terbatas, tetapi lebih baik ketimbang kelompok pertama di atas. Kelompok nonassosiasional berbeda dengan kelompok anomik dalam hal keanggotaannya, yang biasanya bersifat sama latar belakang atau identitasnya. Kelompok ini mencakup kelompok keturunan, etnik, regional, agama, status, kelas sosial. Contoh kelompok ini adalah: Trah Keluarga Mangkunegaran; Ikatan Warga Yogyakarta di Jakarta, Ikatan Warga Dayak Se-Kalimantan, Ikatan Saudagar Bugis, Alumni ITB, Alumni Pendidikan Lemhannas, Alumni Pondok Pesantren Gontor, kelompok-kelompok arisan keluarga, kantor, kampung, dan lain-lain.
ü kelompok institusional yang merupakan kelompok kepentingan yang melembaga secara formal, dengan kegiatan rutin, serta jaringan organisasi yang kuat dan keanggotaan yang bersifat resmi. Kelompok ini memiliki fungsi sosial dan politik yang luas, mencakup hampir sebagian besar segi kehidupan (ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, seni, hukum, keluarga, lingkungan, dan lain-lain), di samping tujuan-tujuan khusus yang mereka miliki. Contohnya ialah: Organisasi Nahdlatul Ulama (NU); Muhammadiyah; Persatuan Islam (Persis); Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia, dan lain-lain.
ü kelompok assosiasional, yaitu kelompok yang memiliki organisasi yang bersifat formal, dan terorganisir secara baik, dengan keanggotaan yang resmi atau bersifat formal pula. Kelompok assosiasional beranggotakan orang-orang yang berasal dari satu profesi yang sama, dengan tujuan spesifik untuk mewakili kepentingan anggotanya atas bidangbidang tertentu yang menjadi fokusnya. Contohnya adalah: Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI); Persatuan Insinyur Indonesia (PII); Kamar Dagang dan Industri (IDI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI); Ikatan Advokat Indonesia (IAI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan lain-lain.
2. Partai-partai politik
Secara umum partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan dibentuknya sebuah partai adalah untuk memperoleh kekuasaan politik, dan merebut kedudukan politik dengan cara (yang biasanya) konstitusional yang mana kekuasaan itu partai politik dapat melaksanakan program-program serta kebijakan-kebijakan mereka.
Tipe-Tipe Partai Politik
1) Dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, partai politik dapat dibagi menjadi :
a. Partai Kader Disebut juga partai elite atau tradisional yang dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe Eropa dan Amerika. Tipe Eropa bertujuan untuk mendapatkan anggota sebanyak mungkin, tetapi lebih menekankan pada dukungan dari orang-orang terkemuka, lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas. Sedangkan tipe Amerika menekankan pada usaha menjaring tokoh partai yang loyal.
b. Partai Massa Teknik mengorganisasi partai dilakukan oleh gerakan sosialis, yang kemudian diambil oleh partai komunis dan banyak digunakan di negara-negara berkembang. Dapat dibedakan menjadi tipe sosialis, yang berorientasi terhadap kaum buruh. Tipe partai komunis yang diorganisasi secara otoriter dan terpusat, lebih menggambarkan sentralisasi daripada demokrasi. Tipe partai fasis, menggunakan tekhnik militer untuk mengorganisasi politik massa.
c. Tipe Partai Tengah Yaitu partai yang menggunakan organisasi massa sebagai alat dukungan partai. Dari segi sifat dan orientasi partai politik dibagi menjadi :
ü Partai Perlindungan (Patronage Party). Partai perlindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang longgar, disiplin yang lemah dan biasanya tidak mementingkan pemungutan suara secara teratur. Tujuan pendiriannya adalah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya, partai ini hanya giat menjelang pemilihan umum.
ü Partai Ideologi. Biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat.
Sistem Kepartaian
1) Sistem partai tunggal. Merupakan sistem dimana hanya ada satu partai didalam satu negara. Partai tersebut memiliki kedudukan dominan dibandingkan dengan partai lain.
2) Sistem dwi-partai. Pada sistem dwi-partai, partai-partai politik dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan.
3) Sistem Multi-Partai. Sistem mult-partai memiliki banyak jenis partai politik didalamnya. Keanekaragaman ras, agama atau suku bangsa yang kuat membuat masyarakat cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas yang mereka miliki ke dalam satu wadah saja. Sistem multi-partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik daripada pola dwi-partai.
Fungsi Partai Politik
1) Fungsi di Negara Demokrasi. Dalam negara demokrasi, partai politik mempunyai beberapa fungsi antara lain :
ü Sebagai sarana komunikasi politik. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat bisa diminimalkan.
ü Sebagai sarana sosialisasi politik. Partai politik memainkan peran dalam membentuk pribadi anggotanya. Sosialisasi yang dimaksudkan adalah partai berusaha menanamkan solidaritas internal partai, mendidik anggotanya, pendukung dan simpatisannya serta bertanggung jawab sebagai warga negara dengan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan bersama.
ü Sebagai sarana rekruitment politik. Partai politik mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Cara-cara yang dilakukan oleh partai politik sangat beragam, bisa melalui kontrak pribadi, persuasi atau menarik golongan muda untuk menjadi kader.
ü Sebagai sarana pengatur konflik. Partai politik harus berusaha untuk mengatasi dan memikirkan solusi apabila terjadi persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Namun, hal ini lebih sering diabaikan dan fungsi-fungsi diatas tidak dilaksanakan seperti yang diharpakan.
ü Sebagai sarana partisipasi politik. Partai politik harus selalu aktif mempromosikan dirinya untuk menarik perhatian dan minat warga negara agar bersedia masuk dan aktif sebagai anggota partai tersebut. Partai politik juga melakukan penyaringan-penyaringan terhadap individu-individu baru yang akan masuk kedalamnya.
ü Sebagai sarana pembuatan kebijakan. Fungsi partai politik sebagai pembuat kebijakan hanya akan efektif jika sebuah partai memegang kekuasaan pemerintahan dan mendominasi lembaga perwakilan rakyat. Dengan memegang kekuasaan, partai politik akan lebih leluasa dalam menempatkan orang-orangnya sebagai eksekutif dalam jabatan yang bersifat politis dan berfungsi sebagai pembuat keputusan dalam tiap-tiap instansi pemerintahan.
2) Fungsi di Negara Otoriter
Menurut faham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah partai tersebut berkuasa di negara ia berada. Karena partai komunis bertujuan untuk mencapai kedudukan kekuasaan yang dapat dijadikan batu loncatan guna menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan sistem politik yang demokratis.
Partai komunis juga mempunyai beberapa fungsi, namun sangat berbeda dengan yang ada di negara demokrasi. Sebagai sarana komunikasi partai politik menyalurkan informasi dengan mengindokrinasi masyarakat dengan informasi yang menunjang partai. Fungsi sebagai sarana sosialisasi juga lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga negara ke arah dan cara berfikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan partai. Partai sebagai sarana reruitment politik lebih mengutamakan orang yang mempunyai kemampuan untuk mengabdi kepada partai.
Jadi pada dasarnya partai komunis mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik dan memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai.
3) Fungsi di Negara Berkembang
Di negara-negara berkembang, partai politik diharapkan untuk memperkembangkan sarana integrasi nasional dan memupuk identitas nasional, karena negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya menjadi satu bangsa.
3. Badan Eksekutif
Badan Eksekutif adalah cabang pemerintahan yang bertanggung jawab mengimplementasikan, atau menjalankan hukum. Figur paling senior secara de facto dalam sebuah eksekutif merujuk sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif yangb biasanya terdiri dari kepala negara seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya.
Fungsi lembaga eksekutif adalah :
ü Menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain
ü Melaksanakan UU
ü Mempertahankan negara dari ancaman internal maupun eksternal
ü Memberi grasi maupun amnesti
ü Menetapkan peraturan atau ketetapan sebagai pengganti UU tetapi dengan syarat persetujuan MPR/DPR
ü Mengangkat pejabat-pejabat Negara
ü Membuat instrumen perundangan dan undang-undang kecil
ü Menyusun pembangunan infrastruktur
Adapun Struktur lembaga eksekutif dibedakan menjadi dua macam, tergantung pada sistem pemerintahan yang digunakan, yaitu :
ü Sistem presidential
Negara dengan sistem presidentil biasanya berbentuk republik dengan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Di sini, presiden mempunyai hak yang lebih luas sebagai wakil negara ke luar dan kepala pemerintahan ke dalam. Namun tentunya ada pengecualian bagi beberapa negara berbentuk monarki absolut seperti Arab Saudi, di mana raja biasanya merangkap sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia sendiri, kepala negara dijabat oleh presiden yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dibantu oleh menteri-menteri yang secara langsung bertanggung jawab kepadanya. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu dan mempunyai masa jabatan 5 tahun dalam sekali periode
ü Sistem parlementer
Negara dengan sistem ini mempunyai presiden (atau gelar lainnya) sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya hanya berupa simbol persatuan walau secara teori mempunyai hak untuk mencampuri urusan pemerintahan
Kepala pemerintahan biasanya muncul dan dipilih dari parlemen, sehingga pemilihan umum di negara dengan sistem seperti ini biasanya hanya memilih anggota parlemen. Partai dengan kursi terbanyak akan mencari dukungan untuk membentuk pemerintahan dengan perdana menteri dari partai mereka. Kepala negara tidak mencampuri urusan pembentukan pemerintahan. Kepala negara di negara dengan sistem seperti ini dapat muncul dengan berbagai cara seperti melalui pemilihan umum di negara republik ataupun menjabat seumur hidup di negara monarki.
4. Badan Legislatif
Badan Legislatif adalah badan deliberatif pemerintah dengan kuasa membuat hukum. Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yaitu parlemen, kongres, dan asembli nasional. Dalam sistem Parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan menujuk eksekutif. Anggota legislatif biasanya tergabung dalam parlemen yang umumnya memegang kendali pemerintahan. Dalam sistem Presiden, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas, dari eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa untuk menaikkan pajak dan menerapkan budget dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang.
Struktur anggota legislatif pada setiap negara berbeda-beda. Misalnya saja Indonesia yang merupakan Negara penganut sistem pemerintahan presidensil mempunyai lembaga legislatif berupa MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang terdiri atas orang-orang yang dipilih atas suara yang diperoleh oleh partai politik yang mereka wakili, ditambah dengan utusan daerah setiap provinsi yang bukan anggota partai seperti yang ditetapkan oleh UUD. Lembaga inilah yang kemudian menetapkan undang-undang, dan peraturan serta Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang menjadi dasar segala pengambilan kebijakan. Sedangkan di negara-negara parlemen, para anggota legislatif dipilih melalui pemilihan umum Partai dengan kursi terbanyak akan mencari dukungan untuk membentuk pemerintahan dengan perdana menteri dari partai mereka. Kepala negara tidak mencampuri urusan pembentukan pemerintahan.
Secara umum fungsi badan legislatif adalah sebagai berikut :
ü Sebagai pemegang kekuasaan rakyat, dimana setelah terjadinya amndemen, kedudukannya sebagai lembaga tertinggi diubah menjadi lembaga tinggi negara. Meski demikian, lembaga legislatif ini tetap membawahi kedudukan presiden. Sehingga, preiden bertanggung jawab kepadanya sebagai badan yang menjadi wadah kedaulatan rakyat.
ü Membuat UU seperti dalam penetapan UUD dan GBHN serta dapat pula mengubah UUD tersebut. Membuat ketetapan atau keputusan diluar yang telah diatur UUD. Misalnya memberhentikan presiden apabila dianggap tidak dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan keinginan rakyat.
5. Birokrasi
Sebagaimana yang didefinisikan oleh Hague, Harrop dan Breslin bahwa “birokrasi adalah organisasi yang terdiri atas aparat bergaji yang melaksanakan detail tugas pemerintahan, memberikan nasehat dan melaksanakan keputusan kebijakan”. Lebih jauh dijelaskan bahwa birokrasi memiliki beberapa fungsi / tugas diantaranya adalah menjamin pertahanan-keamanan, memelihara ketertiban, menjamin keadilan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pemeliharaan sumberdaya alam dan lain-lain. Eksistensi birokrasi merupakan organ utama dalam sisitem dan kegiatan pemerintahan yang oleh karenanya birokrasi dapat menjalankan peran-peran tertentu atas otoritas negara, yang merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh badan / institusi lain manapun.
Dalam kategori negara berkembang, Birokrasi dimata masyarakat tentunya masih mempunyai makna dan fungsi yang sangat dominan ketimbang di negara maju, dimana birokrasi itu sendiri lahir. Hal ini bisa dipahami karena birokrasi masih dipandang sebagi instrumen pokok negara untuk melaksanakan keputusan-keputusan serta kebijaksanaan. Dengan kata lain birokrasi menempati posisi sentral sebagai sistem untuk mengatur jalannya roda pemerinahan.
Menurut Idal Bahri Ismadi, salah satu ciri yang menonjol dalam birokrasi modern adalah hirarkhi jabatan-jabatan (atasan dan bawahan) dan terdapat rekruitmen, promosi, penggajian pemisahan bidang pribadi dengan jabatan yang kesemuanya diatur menurut undang-undang. Namun dalam pandangan Weber , birokrasi legal – rasional merupakan bentuk yang paling murni dari wewenang legal-rasional, impersonal dan netral. Mekanisme kerja biokrasi itu diatur dengan seperangkat aturan formal yang berjalan secara otomatis tanpa pandang bulu. Ditambahkan pula oleh Weber bahwa birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam rasionalitas dunia modern yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses social.
6. Badan-badan peradilan (Badan Yudikatif)
Badan Yudikatif adalah suatu badan yang memiliki sifat teknis-yuridis yang berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanaan konstitusi dan peraturan perundang-undangan oleh institusi pemerintahan secara luas serta bersifat independent (bebas dari intervensi pemerintah) dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya (Rahman, 2007:215).
Badan Yudikatif pada umumnya yang ada bahwa tiap negara hukum masih berpegang pada prinsip bebas dari campur tangan Badan Eksekutif. Tujuannya adalah agar Badan Yudikatif dapat berfungsi dengan baik demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin Hak Asasi Manusia. Pasal 10 Declaration of Human Rights, memandang kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan di dalam tiap-tiap negara sebagai sesuatu hal yang esensiil. Di beberapa negara jabatan Hakim di angkat untuk seumur hidup. Contoh, Amerika Serikat dan Indonesia (Rahman, 2007:217-218).
Badan-badan Yudikatif
1) Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Indonesia adalah peradilan yang menganut sistem kontinental. Dalam sistem tersebut, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang di seluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan adil serta memiliki sifat yang netral dari intervensi pemerintah (independent).
Menurut UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat 2 disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:
• Peradilan Umum
• Peradilan Agama
• Peradilan Militer
• Peradilan Tata Usaha Negara.
Bahkan Mahkamah Agung merupakan pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut :
ü Fungsi Peradilan. Pertama, membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Kedua, memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sengketa akibat perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI. Ketiga, memegang hak uji materiil, yaitu menguji ataupun menilai peraturan perundangan di bawah undang-undang apakah bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi.
ü Fungsi Pengawasan. Pertama, Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan. Kedua, Mahkamah Agung adalah pengawas pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Ketiga, Mahkamah Agung adalah pengawas Penasehat Hukum (Advokat) dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan, sesuai Pasal 36 Undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
ü Fungsi Mengatur. Dalam fungsi ini, Mahkamah Agung mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung.
ü Fungsi Nasehat. Pertama, Mahkamah Agung memberikan nasehat ataupun pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Kedua, Mahkamah Agung memberi nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian/penolakan Grasi dan Rehabilitasi.
ü Fungsi Administratif. Pertama, mengatur badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara) sesuai pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 1999. Kedua, mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan.
2) Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir (sifatnya final) atas pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penkhianatan terhadap negara, korupsi, tindak penyuapan, tindak pidana berat atau perbuatan tercela. Atau, seputar Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat untuk melanjutkan jabatannya. Mahkamah Konstitusi hanya dapat memproses permintaan DPR untuk memecat Presiden dan atau Wakil Presiden jika terdapat dukungan sekurang-kuranya dua per tiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPR.
Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas 9 orang anggota Hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari 9 orang tersebut, 1 orang menjabat Ketua sekaligus anggota, dan 1 orang menjabat wakil ketua merangkap anggota. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi masing-masing menjabat selama 3 tahun. Selama menjabat sebagai anggota Mahkamah Konstitusi, para Hakim tidak diperkenankan merangkap profesi sebagai pejabat negara, anggota partai politik, pengusaha, advokat, ataupun pegawai negeri. Hakim Konstitusi diajukan 3 oleh Mahkamah Agung, 3 oleh DPR, dan 3 oleh Presiden. Seorang Hakim konstitusi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan lagi.
3) Komisi Yudisial
Komisi Yudisial tidak memiliki kekuasaan Yudikatif. Kendati Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menempatkan pembahasan mengenai Komisi Yudisial pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi komisi ini tidak memiliki kekuasaan kehakiman, dalam arti menegakkan hukum dan keadilan serta memutus perkara. Komisi Yudisial, sesuai pasal 24B UUD 1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan personalia Hakim berupa pengajuan calon Hakim Agung kepada DPR sehubungan dengan pengangkatan Hakim Agung. Komisi ini juga mempunyai wewenang dalam menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial lebih tepat dikategorikan sebagai Independent Body yang tugasnya mandiri dan hanya berkait dengan kekuasaan Yudikatif dalam penentuan personalia bukan fungsi yudikasi langsung. Peraturan mengenai Komisi Yudisial terdapat di dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial memiliki wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Dalam melakukan tugasnya, Komisi Yudisial bekerja dengan cara: (1) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; (2) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (3) menetapkan calon Hakim Agung, dan; (4) mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. Pada pihak lain, Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat juga mengajukan calon Hakim Agung, tetapi harus melalui Komisi Yudisial.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung, Komisi Yudisial dapat menerima laporan masyarakat tentang perilaku Hakim, meminta laporan berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku Hakim, melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku Hakim, memanggil dan meminta keterangan dari Hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku Hakim, dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Sebelum mengangkat, Presiden membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Anggota Komisi Yudisial yang terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Seorang anggota Komisi Yudisial yang terpilih, bertugas selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 periode. Selama melaksanakan tugasnya, anggota Komisi Yudisial tidak boleh merangkap pekerjaan sebagai pejabat negara lain, Hakim, advokat, notaris/PPAT, pengusaha/pengurus/karyawan BUMN atau BUMS, pegawai negeri, ataupun pengurus partai politik.
Daftar pustaka
Almond, Gabriel and Powell, Bingham, Comparative Politics: A Developmental Approach, Boston, MA.: Little, Brown and Co., 1980.
Benditt, Theodore M., “The Concept of Interest in Political Theory”, Political Theory, No. 3, August 1975.
Eddi Wibowo dkk.Ilmu Politik Kontemporer.(Yogyakarta:YPAPI,2004) hlm 77-78
Janda, K., Berry, J., & Goldman, J., The Challenge of Democracy, Boston: Houghton Mifflin, 1997.
Maiwan,M. (2016). KELOMPOK KEPENTINGAN (INTEREST GROUP), KEKUASAAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM POLITIK. JURNAL ILMIAH MIMBAR DEMOKRASI,15.
Rahman H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syahrial Syarbani.Sosiologi dan Politik.(Jakarta:Ghalia Indonesia,2002) hlm 76-77